Rabu, 25 Juli 2007

Bisnis nata de coco, dari limbah kelapa ke uang

Membicarakan bisnis kelapa memang bisa tak habis-habisnya. Maklum, seluruh bagian dari tumbuhan satu ini memang bisa ”disulap” menjadi uang. Dengan sedikit kreativitas, keuntungan pun akan mengalir ke kantong. Kalau dihitung, sangat banyak produk dari tumbuhan kelapa yang bisa dibisniskan.

Coba saja renungkan, bagian mana dari pohon kelapa yang tidak dimanfaatkan? Mulai dari akar, batang, bunga, buah, dan daunnya bisa mendatangkan rupiah. Bahkan air kelapa yang merupakan limbah cair dari pedagang kelapa parut di pasar tradisional pun ternyata bisa memberi manfaat, bahkan jadi sumber penghasilan.Karena itulah sangat bisa dipahami kalau kemudian tunas kelapa digunakan sebagai lambing dari Pramuka, gerakan kepanduan di Indonesia.

Dengan menggunakan lambing tunas kelapa itu, Pramuka ingin menjadi gerakan yang seluruh kegiatannya memberi manfaat, bukan hanya bagi internal organisasi, tetapi juga masyarakat dan bangsa Indonesia.Dari sekian banyak bagian pohon kelapa yang memberi manfaat bagi manusia itu, mungkin hanya air kelapa sajalah yang jarang diketahui orang. Padahal setelah diolah sedemikian rupa, air kelapa itu bisa diolah menjadi santapan ringan berupa sari kelapa atau yang selama ini dikenal dengan sebutan nata de coco.

Limbah terbuang berupa air kelapa tersebut dapat diolah menjadi makanan yang menyegarkan, bebas lemak, kaya serat, dan bermanfaat untuk mencegah obesitas. Di luar itu, olahan air kelapa itu pun bisa menjadi lahan bisnis yang memberikan keuntungan menggiurkan, bahkan sampai 300%. Ashari, warga Pondongan, Jagalan, Kotagede, Yogyakarta adalah salah seorang yang sukses dalam bisnis nata de coco. Ashari menggeluti bisnis limbah kelapa sejak lima tahun lalu, namun kini produksinya sudah mencapai 1.500 kg per pekan.

”Untuk produksi sendiri, mencapai 1.500 kg/minggu. Di luar itu, kami juga menampung produk dari beberapa teman untuk disetor ke Jakarta. Sepekan sekali minimal 7.000 kg,” ujar Ashari kepada Espos beberapa waktu lalu.Diungkapkannya, hingga saat ini peluang pasar nata de coco masih terhitung bagus. Bahkan kata dia lagi, hingga lima tahun ke depan usaha ini diprediksi akan terus cerah. Tanda-tanda kejenuhan pasar belum terlihat karena angka produksi belum sebanding dengan dengan permintaan pasar. Bahkan boleh dibilang, angka produksi itu jauh berada di bawah permintaan pasar.

”Sebenarnya penampung di Jakarta dan Bandung minta kiriman barang sampai 1 ton per hari. Namun sulitnya mendapatkan produk nata de coco yang berkualitas bagus, permintaan itu belum bisa kami penuhi. Ya, untuk memenuhinya gampang-gampang sulit,” jelas Ashari waktu lalu di kediamannya.Kendati sudah lima tahunan menjalani bisnia memproduksi makanan menyegarkan itu, namun Ashari mengakui hingga kini masih belum bisa memastikan hasil produksinya. Hal ini tak lain karena kualitas produk sering tak sesuai harapan. Kadang-kadang, 100 % hasil produksi nata de coco berkualitas baik, namun tak jarang pula gagal total. Penyebabnya sangat bermacam-macam.

”Kadang pusing juga emmikirkan itu. Secara teori, membuat nata de coco memang mudah, tapi nyatanya seringkali hasilnya tak sesuai dengan teori. Jadi berhasil atau gagal dari produksi lebih banyak ditentukan oleh nasib. Bukan oleh besar kecilnya pabrik.”Luasnya peluang pasar nata de coco ini juga dibenarkan oleh Kirmanto, produsen nata de coco dari Bantul. Lelaki ini mengaku, selama ini hanya memproduksi nata de coco dengan mengandalkan proses sederhana.Hal ini pula yang menurut Kirmanto, dilakukan oleh produsen lain. Produksi secara pabrikan dengan skala besar, kata dia, masih jarang dilakukan sehingga jumlah produksi belum juga mampu mencukupi tingginya permintaan pasar.

Ia mengatakan sekitar tahun 1997 di Jalan Wonosari, Yogyakarta pernah berdiri pabrik nata de coco. Pada awalnya, produksi dari pabrik itu mencapai dua ton per hari. Tapi sayangnya, pabrik di Jalan Wonosari tersebut tak mampu bertahan lama dan akhirnya bangkrut. Begitu pula di Bandung, pertama mampu produksi sehari tiga ton, tapi umurnya tak lebih dari setahun. ”Membuat nata ini memang tak mudah. Harus sabar, karena kegagalan itu sering tak bisa diprediksi. Begitu pula keberhasilannya. Jadi wajar kalau banyak orang yang memproduksi nata, tiba-tiba gulung tikar. Padahal permintaan Jakarta masih luas,” ujarnya.

Lalu mengapa Ashari dan Kirmanto bisa bertahan? Kepada Espos, kedua pengusaha itu mengatakan mampu bertahan lantaran sabar menghadapi setiap kegagalan. Mereka tidak menampik jika selama kurang lebih lima tahun ini berkali-kali gagal panen nata, bahkan pernah menderita kerugian mencapai jutaan. ”Namanya usaha pasti ada untung ada ruginya. Kebetulan kita ditolong dengan sistem pemasaran ritel tiap hari,” ujar Ashari.Yang dimaksud dengan pemasaran ritel (eceran), kata Ashari adalah, pemasaran nata tidak hanya memenuhi permintaan buyer luar kota saja, namun tiap hari rajin keliling ke warung-warung dan pasar tradisional menjual nata de coco dalam kemasan kecil.

”Harga eceran dengan irisan kecil-kecil itu dua kali lipat. Dan ternyata kita dapat untung. Dari situlah kita bisa menutup kegagalan panen besar untuk order Jakarta dan Bandung,” tutur Ashari.Oleh karena itu, lanjut dia, jika memang ada orang yang ingin mengkuti jejak usaha membuat nata de coco, maka yang paling penting adalah kesabaran dan mampu menciptakan pasar eceran di warung atau pasar tiap harinya. Tantangan terberat dari usaha ini bukan pada pemasaran dalam jumlah besar, tapi produksinya. ”Kalau produksi nata itu bisa dipastikan hasilnya, saya sudah kaya. Pembeli Jakarta pasti mau membayar dengan sistem cash. Bahkan kalau mau bayar di muka, tapi saya menolak karena belum tentu bisa hasilnya.

” Dari segi keuntungan, produksi sari buah kelapa lumayan. Minimal margin keuntungan yang bisa didapat adalah 30% karena biaya pokok produksi per kilo hanya sekitar Rp 400. Sedangkan harga per kilogram nata de coco untuk partai besar mencapai Rp 700/kg. Untuk eceran di pasaran Rp 1.000/kg. ”Kita pasok ecer ke warung atau pasar Rp 1.000. Kemudian sampai ke konsumen Rp 1.200,” ujar Kirmanto.Di hari-hari besar, seperti pada hari Lebaran atau Natal, permintaan nata de coco biasanya melonjak tiga kali lipat dari kebutuhan rutin hari biasa sehingga harga jual di pasar pun sering naik hingga 50% dari harga biasa.

Bikin nata de coco gampang-gampang sulit

Proses pembuatan nata de coco, menurut pengusaha Kirmanto, sebenarnya tidak terlalu rumit dan tidak butuh teknologi tinggi. Cukup dengan menyiapkan nampan-nampan plastik sebagai media fermentasi. Air kelapa yang jadi bahan dasar pembuatan sari kelapa itu dimasukkan ke dalam panci kemudian direbus selama selih kurang 2 jam.
Selanjutnya, jelas Kirmanto, dalam setiap 100 lt air kelapa ditambahkan 300 gram gula putih, 300 gram zet A (sejenis bahan kimia berbentuk serbuk yang berperan dalam proses pembentukan lembaran-lembaran nata de coco) dan 1 sendok makan sitrun. Setelah mendidih, air kelapa dituangkan dalam nampan-nampan plastik, dan dibiarkan hingga dingin.Setelah dingin, dalam setiap nampan (ukuran 1 lt) ditambahkan sekitar 150 cc bibit nata dan ditutup rapat dengan kertas koran.
Lalu nampan-nampan tadi diikat dengan karet-karet pengikat untuk diproses fermentasi selama 7 hari. Setelah 6 sampai 7 hari, akan terlihat lembaran-lembaran putih dengan tinggi sekitar 1 cm hingga 1 1/2 cm. Lembaran putih itulah yang dikenal sebagai nata de coco.Khusus untuk bibit nata de coco, selain dapat dibeli di toko-toko kimia seharga Rp 15.000/botol ukuran 1 lt, juga dapat diproduksi sendiri.
Untuk pembuatannya, dari 25 lt air kelapa menghasilkan 60 botol bibit yang dapat digunakan untuk keperluan selama 6 bulan.Di pasaran, harga jual nata de coco rata-rata Rp 1.000 per lembar. ”Setiap lembar nata beratnya sekitar 1 kg,” kata Kirmanto. Berarti, jika berhasil membuat 1,2 ton nata/minggu maka akan menghasilkan Rp1,2 juta atau Rp 4,8 juta/bulan. Kirmanto menjelaskan, dia sudah tidak kesulitan memasarkan produk karena para pengecer akan datang ke rumah Kirmanto untuk membeli lembaran-lembaran nata tadi. Kemudian, mereka akan memotong-motong sendiri lembaran nata tersebut dengan ukuran 1 1/2 X 1 1/2 cm.
Potongan-potongan itulah yang kemudian dijual ke konsumen atau diolah kembali menjadi manisan, minuman ringan, campuran es teler atau dikemas dalam gelas plastik dan dijual Rp 500/gelas. Kirmanto sendiri mengaku, beberapa waktu lalu sempat mengusahakan nata olahan. Namun dengan semakin tingginya permintaan dia mengaku tidak memiliki waktu untuk mengolah nata tersebut. ”Sekarang saya lebih berkonsentrasi pada pembuatan nata saja.
Biar olahannya menjadi rezeki bagi pengecer,” ujarnya.Diakui Kirmanto, membuat nata de coco memang gampang-gampang sulit. Karena faktor tertentu, bisa saja proses fermentasi air kelapa itu gagal. Namun seiring makin seringnya mencoba membuat, kegagalan itu bisa dikurangi.Selain dari wilayah Kotagede, Kirmanto juga mengaku mendapatkan order dari Jakarta, Bogor dan Bekasi. ”Bulan lalu saya mendapat order 7 ton nata/minggu dari Bandung tetapi saya tidak menyanggupi sebab tidak ada modal dan tenaga kerja,” ujar Kirmanto lagi. Melihat keberhasilan Kirmanto itu, mengapa Anda tidak mulai membuka usaha, membuat nata de coco?

Bisnis suvenir & kartu undangan tak pernah mati

Musim kemarau sudah tiba dan bagi sebagian masyarakat dianggap waktu paling baik untuk melangsungkan hajat termasuk pernikahan. Buktinya, jika hajatan diselenggarakan pada musim hujan maka pawang hujan adalah salah satu yang dipanggil agar hujan tak mengguyur sewaktu hajat diselenggarakan. Pada musim-musim nikah seperti ini, pelaku usaha yang kebanjiran rezeki adalah kartu undangan dan suvenir pernikahan. Karena itu bisnis ini dianggap bisnis yang tak ada matinya. Anggapan yang digunakan adalah nyaris semua orang dipastikan mengalami dan menginginkan pernikahan. Pesatnya perkembangan zaman, untuk urusan kabar pernikahan dan mengundang relasi guna berbagi kebahagiaan tak hanya cukup dari mulut ke mulut ataupun mengundang secara pribadi. Namun menggunakan sebuah kartu dan disediakan suvenir bagi tamu undangan sebagai kenang-kenangan.

Pemilik usaha kartu undangan di wilayah Kalijambe Sragen Icay Ofset, Cahyo Wibowo mengatakan usaha jenis ini sangat menggiurkan. Sedang pemilik toko suvenir Sulis Agency di Jl Adisucito Solo, Sudarti menambahkan keuntungan dan prospektif usaha itu. Usaha tersebut di atas menurut mereka tidak dijalankan dengan modal besar. Ibaratnya cukup mengandalkan kreativitas dan kesanggupan mencari pasar. Soal keuntungan, mereka menjawab minimal mampu mengembalikan modal. Jujur mereka mengatakan tak hanya bisa kembali modal namun sering mendapat lebih. ”Jadi separuh harga pasti dapat. Ini untuk suvenir buatan sendiri misalnya rangkaian toples berisi dua buah dengan hiasan bordir dan bunga saya jual Rp 50.000. Padahal untuk modal tak ada separuh atau Rp 25.000. Tinggal mengalikan berapa buah yang berhasil dijual,” ungkap Darti.

Hal yang sama dikatakan Cahyo. Yang jelas modal kembali sehingga jika diibaratkan kartu undangan seharga Rp 600, modal yang dibutuhkan hanya Rp 300.
Soal modal sekali lagi dikatakan hampir tak bermodal sebab pada sebagian wilayah usaha kartu undangan dan suvenir pernikahan masih merupakan usaha sambilan. Jika benar-benar mau profesional tentunya bisa diandalkan asalkan dengan niat kuat. ”Selama ini masih sambilan. Seperti saya bekerja di sebuah perusahaan di Solo sebagai pekerjaan utama dan kartu undangan ini hanya sambilan,” papar Cahyo.

Bisnis ini dianggap usaha sampingan karena usaha tersebut bersifat musiman. Musim ramai pesanan tak setiap saat yakni ketika musim kawin antara Bulan Syawal hingga Besar atau bulan lain selain Syura termasuk kemarau saat ini. Menjalani bisnis di atas, lanjut mereka, tak ada ruginya. Sebab musim kerja bagi mereka bisa dibilang hanya ketika ada order. Karena itulah, promosi atau usaha jemput bola merupakan upaya yang sangat dibutuhkan demi kelancaran rezeki. Cahyo membeberkan usaha pelayanan kartu undangannya hanya bermodalkan seperangkat komputer termasuk printer dan kertas. Itu saja. Untuk kertas bisa dibeli di toko baik dalam bentuk potongan maupun plano yakni jenis kertas dalam ukuran besar. Untuk urusan hemat, Cahyo menyarankan pilih plano karena satu yard atau satu lembar bisa untuk bikin sepuluh lembar kartu.

Selain itu masih ada sisa yang bisa dimanfaatkan sebagai kertas label suvenir. Dengan demikian tak ada yang bersisa. Dari segi harga, kertas potongan dan plano selisih sekitar Rp 20. Kertas potongan biasanya berisi 100 lembar per pak dengan harga Rp 140 per lembar dan bisa digunakan untuk 100 lembar undangan juga. Untuk membuat kartu undangan juga tak butuh waktu lama. Dua jam pun jadi kalau sudah punya desain tapi kalau belum punya desain atau harus membuat desain baru tentunya butuh waktu lebih. Perlu diingat, file yang dibutuhkan untuk desain kartu cukup besar karena itu komputer harus dilengkapi CD writer karena disket saja tak akan cukup menampung besarnya file. Untuk jenis usaha sampingan semacam ini, biasanya tak dicetak sendiri namun diserahkan ke percetakan. Desain pilihan pemesan setelahnya diprint dalam kertas biasa kemudian dibawa ke percetakan setelah sebelumnya difotokopi dengan kertas elefax. ”Kertas elefax ini kertas khusus untuk percetakan seperti plat. Modal untuk ini Rp 2.500,” lanjut Cahyo. Dua jenis

Perhitungan pengeluaran selanjutnya adalah ganti cetak. Biasanya dihargai per muka Rp 10. Sehingga jika bolak-balik dihitung dua muka atau Rp 20 atau tergantung harga dari perusahaan cetak. Selanjutnya adalah pertimbangan dengan cara sablon atau print. Kartu dengan cetak sablon memang mahal Rp 50 karena hasil lebih sempurna dibandingkan cetak print. Tinta yang digunakan kadang berlepotan hingga hasil takrapi termasuk pemasangan platyang kurang sempurna.. Jenis undangan yang ditawarkan biasanya ada dua yakni jenis murah terutama untuk kalangan kurang mampu Rp 300 per buah. Jenis itu per lembar hanya memerlukan 1/4 kertas folio. Jika menginginkan ukuran di atasnya tentu dikalikan dua atau 1/2 polio dengan nominal Rp 600.

Bentuk lainnya adalah untuk kalangan berada atau jenis bagus dan rumit. Untuk jenis ini dihargai mulai Rp 900. Dengan demikian, harga kartu tergantung jenis kertas yang digunakan, tinta timbul atu tidak, kerumitan desain. Jadi contoh perhitungan modal untuk 100 kartu yang dibutuhkan Cahyo tak termasuk seperangkat komputer adalah;

- 10 Kertas plano @ Rp 120=Rp 12.000
- Fotokopi elefax Rp 2.500
- Cetak per muka (semisal kartu dengan dua lipatan berarti ada empat muka : 4xRp 50 =Rp 200x100 lembar =Rp 20.000. Itu jika dengan menggunakan desain sendiri. Jika menggunakan atau mencontoh desain dari percetakan ditambah Rp 2.500-3.500. Taruhlah angka maksimal maka Rp 20.000+3.500+12.000+2.500 =Rp 38.000. Jadi jika modal yang dikeluarkan Cahyo sebanyak itu maka uang yang akan dikantongi senilai Rp 76.000. Tentunya untuk modal tergantung dengan jenis kartu yang dipilih pemesan.

Kunci suksesnya, kreativitas

Sekalipun modal yang dibutuhkan tidak besar namun persoalan yang jauh lebih penting adalah soal kreativitas. Berikut hal-hal yang menurut mereka patut diperhatikan jika ingin sukses :

  1. Kreatif menciptakan desain baru. Jika tidak hal itu sama saja menjualkan produk orang lain. kreatif sama dengan memenangkan tarif jual tanpa karena tak ada saingan di tempat lain. Perlu diingat jangan terlalu besar jika mengambil keuntungan karena bisa bikin kapok pemesan. Sewajarnya sajalah.
  2. Promosi atau pemasaran adalah hal yang paling penting. Karena itu jangan malu-malu untuk jemput bola atau mencoba berbagai strategi pemasaran. Misalnya menitipkan plamflet di toko-toko relasi atau yang lainnya. Perlu juga mendatangi ke rumah calon punya hajat ini tentunya bagi usahawan baru atau memiliki kedekatan emosi.
  3. Jangan lupa pula untuk memberikan tips bisa dengan bentuk apapun kepada relasi yang berhasil memberikan kita pemesan. Ini penting selain sebagai bentuk terimakasih juga mempererat tali silaturahmi. Semakin baik kita menjalin relasi semakin baik pula peluang keuntungan yang akan kita dapat.
  4. Jangan ragu melakukan pendekatan terhadap perusahaan cetak ataupun toko kertas dengan menjadi langganan. Dengan demikian, harga yang diberikan dihitung diskon dan berbeda dengan konsumen biasa.
  5. Pelayanan dan kualitas adalah hal utama. Konsumen akan lebih pelayanan dan kualitas baik sekalipun harga yang dikenakan jauh lebih tinggi.
  6. Berikan bentuk bonus-bonus sebagai penarik konsumen untuk memesan ke tampat kita. Misalnya pemesanan 1.000 kartu mendapatkan satu buah kaus, payung dan lain sebagainya. Bonus yang dapat diberikan lainnya sebagai bentuk pelayanan adalah rela mengetikkan list nama-nama tamu undangan di dalam kartu. Jika terlampau banyak bisa diberikan bonus gratis kertas tempat nama untuk ditempel di muka undangan.
  7. Kalau bisa mendirikan tempat usaha di lokasi yang belum banyak saingannya. Perhatian masyarakat akan berbeda jika usaha kita adalah pioner. Jika sudah banyak yang membuka usaha sama, mainlan di kualitas dan pelayanan.
  8. Sebagai usahawan awal, jangan terlalu memikirkan keuntungan. Yang utama adalah menjadi relasi dan membuat pasar.
  9. Jangan malu untuk mengikuti perkembangan zaman atau model yang sedang tren. Tak mengikuti tren sama dengan enggan kecipratan rezeki.
  10. Kepada konsumen jika memesan kartu dengan gambar foto diri sebaiknya dengan negatif film untuk hasil sempurna.
  11. Kepada konsumen agar lebih hemat, pandai-pandailah memilih jenis kartu undangan. Jika untuk kalangan biasa pilihlah jenis kartu biasa. Namun jika yang diundang adalah kalangan atas, pilihlah yang sesuai agar reputasi keluarga tak menjadi perbincangan.